Semula, terselip rasa bangga ketika dipanggil mahasiswa. Bagaimana tidak, sekarang saya bukan sekadar siswa lagi, karena ada tambahan "maha" sebelumnya. Lebih dari itu, identitas ini tidak didapatkan dengan tiba-tiba, sim salabim! Identitas ini didapat setelah berjibaku dalam seleksi super ketat melawan ribuan saingan ujian penerimaan mahasiswa baru. Sehingga, tak terlalu salah menganggap identitas mahasiswa sebagai simbol kemenangan para juara. Tidak hanya itu, mahasiswa menyandang berbagai gelar yang menggelegar: agent of change, agent of develovment, agent of social control, director of change, creative minority, calon pemimpin bangsa dan lain sebagainya.
Berbagai perubahan besar dalam persimpangan sejarah negeri ini, senantiasa menempatkan mahasiswa dalam posisi terhormat. Misalnya, sebagai pahlawan demokrasi, bahkan gerakan yang dibangun mahasiswa disebut sebagai pilar demokrasi yang kelima. Mahasiswa menjadi tumpuan harapan bangsa, harapan negara, harapan masyarakat, harapan keluarga dan juga harapan agama. Di tengah euforia identitas itu, tiba-tiba muncul seberkas kesadaran. Ada peran-peran yang harus dilakukan sebagai konsekuensi logis dan konsekuensi otomatis dari identitas mahasiswa.
A. Harapan dan Konsekuensi
Berbagai istilah menggelegar itu menuntut pemilik identitas mahasiswa, untuk melakukan sesuatu yang seharusnya dikerjakan. Ada harapan di balik berbagai sebutan dan julukan untuk mahasiswa. Ya, ada konsekuensi identitas mahasiswa! Setidaknya ada tiga aspek yang menjadi konsekuensi identitas mahasiswa.
1. aspek akademis. Dalam aspek ini tuntutan peran mahasiswa hanya satu, belajar. Ini sebenarnya merupakan tugas inti mahasiswa karena konsekuensi identitas mahasiswa dalam aspek yang lain, merupakan derivat dari proses pembelajaran mahasiswa. Mahasiswa sebagai bagian dari civitas academica harus menjadi insan yang memiliki keunggulan intelektual, karena itu merupakan modal dasar kredibilitas intelektual.
2. aspek organisasional. Tidak semua hal bisa dipelajari di kelas dan laboratorium. Masih banyak hal yang bisa dipelajari di luar kelas, terutama yang hanya bisa dipelajari dalam organisasi. Organisasi kemahasiswaan menyediakan kesempatan pengembangan diri luar biasa dalam berbagai aspek. Misalnya, aspek kepemimpinan, manajemen keorganisasian, membangun human relation, team building dan sebagainya. Organisasi juga sekaligus menjadi laboratorium gratis ajang aplikasi ilmu yang didapat di kelas kuliah.
3. aspek sosial politik. Mahasiswa merupakan bagian dari rakyat, bahkan ia merupakan rakyat itu sendiri. Mahasiswa tidak boleh menjadi entitas terasing di tengah masyarakatnya sendiri. Ia dituntut untuk melihat, mengetahui, menyadari dan merasakan kondisi riil masyarakatnya yang hari ini sedang dirundung krisis multidimensional.
Kesadaran ini mesti teremosionalisasikan sedemikian rupa hingga tidak berhenti dalam tataran kognitif an sich, tapi harus mewujud dalam bentuk aksi advokasi. Dalam tataran praktis, aksi advokasi ini sering bersinggungan dengan ketidakadilan dan otoriterianisme kekuasaan. Menantang memang, namun di situlah jiwa kemahasiswaan seseorang teruji. Kampus memang bukan merupakan masyarakat sesungguhnya (real society), tapi ia merupakan masyarakat semu (virtual society) dengan segala kemiripan kompleksitas permasalahan serta struktur sosialnya dengan masyarakat yang sebenarnya. Karena itu, mahasiswa bisa menjadikan kampus sebagai ajang simulasi yang menjadi bekal sebenarnya, ketika betul-betul terlibat dan terjun ke masyarakat sesungguhnya.
Maka, belum lengkap menjadi mahasiswa tanpa memenuhi berbagai konsekuensi identitas mahasiswa dalam ketiga aspeknya. Pemenuhan keseluruhan konsekuensi identitas mengantarkan “mahasiswa” pada kebermaknaan menjadi mahasiswa. Banyak persoalan mahasiswa di kampus yang sebenarnya bisa disikapi dan bisa dijadikan sebagai pemicu dalam menggelorakan kampus ternyata tidak direspon oleh organisasi-organisasi mahasiswa baik intra maupun extra-universiter, mulai dari persoalan minimnya fasilitas, layanan administrasi yang berbelit-belit, pungli, biaya kuliah yang semakin mahal, represifitas terhadap aksi-aksi mahasiswa, kebebasan berekspresi, berpendapat dan berorganisasi selalu dibatasi sampai pada hal yang cukup strategis tentang pengambilan kebijakan kampus yang tidak pernah melibatkan Mahasiswa (seperti pemilihan rektor dan perumusan-perumusan peraturan kampus).
B. Mahasiswa dan Politik.
Sebagai sebuah kekuatan politik, gerakan organisasi kemahasiswaan masih memiliki legitimasi moral yang kuat. Sayangnya, meskipun harapan tinggi masih diletakkan ke pundak mahasiswa, ada kecenderungan gerakan politik mahasiswa kian melempem dalam menanggapi berbagai permasalahan riil dan kondisi objektif kampus dan bangsa saat ini.
Mantan Ketua MPR-RI Amien Rais yang pernah menjadi icon gerakan Reformasi 1998, dalam seminar mahasiswa akhir 2005, menilai, gerakan mahasiswa pasca kejatuhan Soeharto telah berubah. Gerakan mahasiswa yang dulu bersemangat, kini seperti ‘mati suri’. Aksi demonstrasi yang dilakukan untuk kepentingan rakyat tak banyak digelar, dan mahasiswa lebih banyak dibelenggu kemewahan hidup akibat kapitalisme (Kompas, 19/12/2005). Terlepas dari benar atau tidaknya sinyalemen Amien, pandangan yang sama agaknya kini juga dirasakan publik. Kiprah gerakan politik mahasiswa yang sebelumnya bersemangat menyuarakan reformasi semakin sayup terdengar. Setelah rezim Soeharto tumbang, praktis tidak tampak lagi kebersamaan kaum muda memelihara hasil reformasi.
Meskipun dari segi nilai politik, gerakan yang dilakukan mahasiswa penting sebagai penyeimbang kekuatan politik negara, aksi yang dilakukan dalam menyikapi kebijakan pemerintah tidak lagi memiliki kekuatan signifikan. Seandainya ada, relatif dilakukan terpecah-pecah dan tidak ada gerakan terpadu. Kondisi yang demikian menggambarkan gerakan politik yang terkotak dalam politik aliran tertentu. Akibatnya, berbagai kebijakan publik yang semestinya mendapat kontrol ketat bisa lolos dengan relatif mulus. Kenaikan harga BBM, kenaikan tunjangan anggota DPR, gagalnya usulan hak angket, interpelasi DPR dan yang masih hangat adalah kenaikan harga minyak goreng merupakan contoh mandulnya kontrol kebijakan lewat jalur birokrasi dan parlemen. Jalur kontrol kebijakan publik melalui birokrasi dan parlemen sulit diandalkan. Sementara kontrol ekstra parlementer pun terkesan melempem.
Harapan terhadap revitalisasi peranan mahasiswa melalui organisasi kemahasiswaan tercermin dari ketidakpuasan publik yang membesar terhadap kiprah mahasiswa. Demikian juga sikap kritis gerakan politik mahasiswa dalam menyikapi kinerja pemerintah, DPR, maupun lembaga penegak hukum dinilai masih jauh dari yang diharapkan. Besarnya proporsi sikap kurang puas publik dalam menilai gerakan organisasi mahasiswa, meski tidak dominan, bermakna signifikan mengingat citra dan apresiasi gerakan mahasiswa selama ini mendapat nilai positif yang tinggi dari masyarakat. Sebanyak 71,2 persen responden masih menilai citra organisasi mahasiswa baik dan 21 persen menilai buruk. (Kompas, 06/02/2006)
Sementara itu, organisasi mahasiswa yang pada masa lalu telah turut memainkan peranan penting dalam sejarah perubahan kondisi bangsa ini, juga semakin tidak terdengar. Penilaian kepuasan terhadap Himpunan Mahasiswa Islam, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi, dan Badan Eksekutif Mahasiswa Nusantara misalnya, hanya sedikit di atas proporsi responden yang tidak puas. Sementara kiprah Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia maupun kelompok aktivis tahun 1998 seperti Forum Kota bahkan cenderung dinilai lebih tidak memuaskan dalam kiprah politik mereka saat ini. Relatif besarnya jumlah responden yang mengatakan tidak tahu mengenai gerakan mereka, menunjukkan kian tak terdengarnya kiprah mereka di panggung sosial politik. Boleh jadi, faktor pengenalan terhadap organisasi mahasiswa turut memengaruhi penilaian.
Kemurnian gerakan mahasiswa sering menjadi pertanyaan, apakah aktivitas di dalam gerakan organisasi mahasiswa murni didasarkan keinginan melakukan perubahan kondisi yang lebih baik, ataukah sekadar sebagai batu loncatan meraih kekuasaan atau kedekatan politik dengan pusat kekuasaan. Fenomena aktivis mahasiswa ‘98 yang menjadi anggota legislatif menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi publik percaya mereka memiliki idealisme dan komitmen membela rakyat, sehingga mampu memperbaiki sistem dari dalam. Namun di sisi lain, kondisi tersebut rawan godaan dan iming-iming materi yang mengaburkan komitmen awal mereka. Seperti sinyalemen Amien Rais, gerakan mahasiswa masa kini pasif, karena manusianya sedang dibelenggu kenyamanan hidup.
C. Penutup.
Oleh karena itu jalan terbaik bagi mahasiswa saat ini adalah kembali kepada identitas awalnya sebagai agent of change, agent of development dan agent of social control, dengan demikian identitas ini akan mengantarkan “mahasiswa” pada kebermaknaan menjadi mahasiswa. Jangan nodai ke-Maha-an anda demi segelintir prestise.
0 Comments
Langganan:
Postingan (Atom)